Minggu, 25 Juli 2010

Selimut Sepi Kakak

Selimut Sepi Kakak
Kawan, sekarang tanggal 13 juli tepat dua bulan setelah kakekku meninggal bulan Mei lalu. Keadaan rumahkupun bertambah sepi, kau tahu apa alasannya? Karena keponakanku sudah pindah ke tempat tinggal. Sebenarnya tidak terlalu jauh masih di area jawa tengah tapi bagian timur yaitu kota Solo, tetapi rasa kehilangan itu tetap akan ada, tumbuh berbunga dan menyemerbakkan aroma kesepian. Saat ini kakak perempuanku benar-benar terlihat kasihan karena permata hati satu-satunya yang menjadi penguat hidupnya telah berada nun jauh bermil-mil dari lokasi ia berada. Aku masih ingat satu hal yang menjadi penghiburnya sekarang, ia pernah bilang satu hal kalau ia akan hanyut dalam pesawat TV dan bisa melupakan beban perasaannya sejenak.
Aku tak pernah bisa membayangkan kalau tanggal 21 Juli besok aku akan pergi lagi ke Bogor, ayah dan ibu setiap hari bekerja, kakak laki-lakiku sudah lama tinggal di rumah istrinya, lantas siapa lagi dirumah ini kecuali dia. Ya , kakaku akan memasuki puncak kesepian bertabur kesunyian di rumah ini. Rumah yang tujuh tahun lalu disebut rumah kehangatan kini berputar 180◦ dari sebutannya dulu. Penghuninya telah memiliki kesibukan sendiri-sendiri, akibatnya kakakku menjadi penghuni terakhir dan ayahku tentu saja menjadi orang paling tampan. Aku tahu mulai saat ini batinnya menangis, pikirannya bercampur baur semrawut bak benang-benang kromatin dalam suatu kromosom dalam sebuah fase metafase, jiwanya merintih, menunggu, menanti, dan berharap suatu saat Allah akan memberinya malaikat berwajah manusia sebagai pengganti imamnya yang telah meninggal kala shalat jumat tujuh tahun silam.
♥ ♥ ♥
Berteman dengan sepi itu seperti berteman dengan orang gila yang tertidur, dia itu tidak merepotkan, tetapi melihatnya saja sudah menyebalkan sekaligus merepotkan. Seseorang bisa saja membunuh kesepian itu dengan berbagai kegiatan apa saja yang bisa ia lakukan. Namun, tak jarang pula rasa sepi itu membuat perasaan takut menjalari seseorang. Dan jika kau belum merasakannya maka bisa kau tanyakan saja pada kakakku, kau akan tahu secara luas permasalahan ini.
Kawan, hari itu mendung senantiasa menyelimuti kota bawang merah dan telor asin ini, langitpun mulai menitikkan air mata dan tangisannya meleleh, mengalir deras membasahi bumi sang penampung setianya. Hari itu seperti biasa kakak iparku sudah pergi bekerja dua jam yang lalu sedangkan kakaku pergi entah kemana, seingatku ia pergi ke kota untuk menyiapkan keperluan pengajian besok karena hari sabtu yang lalu kakakku yang beruntung mendapat uang arisan. Selain itu ia juga ingin memberi kejutan untuk suaminya mas Khalid. Ya ampun ternyata aku juga lupa kalau hari itu ulang tahun kakak iparku. Memang sebenarnya dalam keluargaku tak pernah ada tradisi merayakan ulang tahun, apalagi yang sifatnya sangat mewah meriah hingga menghabiskan uang dengan percuma. Kali ini pun tidak, kakakku hanya sekedar memberi hadiah sepasang baju kerja lengkap dengan sepatunya. Kakakku pernah berkata kalau suaminya itu orang yang paling ikhlas yang pernah ia temui seumur hidupnya. Kakakku itu selalu membawa sesuatu entah itu barang ataupun sekedar makanan cemilan untuk dirinya saat pulang dari kerja, dan selama pernikahan yang ia jalani tak pernah sekalipun suaminya itu meminta sesuatu yang berharga.
Sudah lebih dari tiga jam kakakku pergi, syukurlah hujanpun reda, tapi kelihatannya belum ada tanda-tanda dia akan segera tiba di rumah. Jarum jam pendek menunjukkan pukul sebelas siang, jika hari ini bukan hari jumat biasanya kakak iparku akan pulang sejenak untuk sekedar makan siang sekaligus melepas rindu pada Yusuf, anak semata wayangnya yang masih berumur tiga tahun. Tetapi karena sekarang hari jumat maka hal itu tidak ia lakukan, ia langsung bersiap-siap untuk shalat jumat.
Menunggu adalah pekerjaan yang menyebalkan sama seperti “sepi” karena sifatnya tidak pasti, apalagi jika keduanya digabung dalam sebuah kalimat “menunggu dalam sepi” rasa bosannya pasti berkali-kali lipat. Untunglah keponakannku Yusuf itu sangat lincah dan menyenangkan, tingkah polahnya amat menarik perhatian orang-orang yang ada di dekatnya. Bola mata hitamnya yang berkilau bak kristal hitam, tubih mini montok dan gempalnya yang terbungkus kulit putih lembut khas anak kecil menambah kegemasan semua orang yang melihatnya. Yusuf adalah keponakanku yang lucu, gelak tawanya selalu menghiburku saat aku sedang kesal. Menggendongnya adalah pekerjaan yang paling aku sukai, dekapan kedua tangannya begitu berarti seolah meminta perlindungan padaku agar aku tak sampai hati menurunkannya ditempat yang salah. Namun, andai hari itu tak pernah ada dan peristiwa itu tak pernah terjadi, andai semua manusia bersifat seperti rasulullah saw yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain, tidak pernah egois, dan andai aku dapat mengetahui suratan takdir hari itu.
Rasanya air mataku akan selalu meleleh deras begitu saja saat ku tatap sinar kristal hitam yang ada dalam bola mata yusuf. kudekap erat-erat tubuh mini itu, kini tangannya tak balas mendekapku, tatapannya menyelidik penuh tanya ditambah dengan bahasa wajahnya yang menyiratkan arti sempurna tidak mengerti terhadapku. Dengan terbata-bata akhirnya ia bertanya
“lilik…ke..kenapa naangiiisss???ucup aja gak nangis kok lilik naangiiss siiih?”
Aku kembali menatapnya lekat-lekat, hatiku tersayat-sayat, walau aku tahu jika aku ceritakan yang sebenarnyapun dia tidak akan pernah mengerti apa maksudku, tetapi jangankan keponakanku yang baru berumur tiga tahun, seekor anak ayampun akan merasa kehilangan jika induknya pergi untuk selamanya karena anak ayam itu belum siap menempuh perjalanan hidupnya tanpa sesosok pelindung.
“Ya Allah lihatlah makhlukMu yang Kau ciptakan ini! Nyawa dalam tubuh mininya harus menerima dan menghadapi kenyataan pahit, wajah tanpa dosanya itu harus menelan mentah-mentah arti kehilangan, rambutnya yang hanya beberapa helai itu tak kan lagi mendapat elusan kasih sayang dari seorang ayah, Mungkin Engkau lebih tahu garis hidupnya, keponakanku yang malang semoga kepergian ayahmu akan membuatmu menjadi seorang yang kuat dalam menyikapi segala pernak-pernik masalah hidup ini dan kau menjadi orang yang tegas tapi kasih sayang seperti ayahmu, serta semoga atas terpanggilnya ayahmu ke sisi Allah adalah karena Allah sudah merindukannya seperti rinduNya kepada mujahid-mujahidah palestin yang senantiasa menegakkan kalimat Allah dan menjunjung tinggi syariat rasulullah di bumi Palestina” doaku dalam hati.
Tanpa aku sadari kakakku datang tergopoh-gopoh membawa belanjaannya dari kota, wajahnya penuh dengan peluh. Namun, masih tetap semangat dan terlihat jelas disana rona merah sumringah khas orang jatuh cinta.
“Dek ayo cepat bantu kakak bungkusin kado-kado ini ya!!” serunya memerintahku sembari simpang siur mondar-mandir memindahkan barang,
“Dek ayo cepetan bentar lagi shalat jumat akan selesai, mas khalid pasti akan segera pulang dan aku sudah tidak sabar lagi untuk menyambutnya pulang” ucapnya setengah berteriak sambil tertawa kecil.
Aku masih diam seribu bahasa, bingung harus darimana aku bisa menjelaskan padanya
“ka, sekarang kita harus secepatnya ke rumah sakit, mas khalidmu ada disana” ucapku lega.
Dalam sekejap pekerjaannya terhenti, sebuah kotak biru terjatuh begitu saja tanpa toleransi akan isi dan harganya.
“apa kau bilang dek? Kau tidak sedang membuat kejutan lebih dulu untuk kakak kan? Bukan mas Khalid yang sakit kan?” Tanyanya menyelidik. Wajahnya masih nampak tak percaya, aku tahu hatinya merasa cemas.
Dalam perjalanan ia masih menjejaliku dengan pertanyaan-pertanyaan sedih.
“tapi dek kenapa kau tak cepat menghubungi kakak?” protes kakakku masih tak bisa terrima.
“kak, sudah berapa kali aku mencoba menghubungimu, tapi ponselmu mati” jawabku tak mau kalah.
“kak tadi mba likha kesini membawa kabar itu, sekarang ayah, ibu dan saudara-saudara kita yang lain sudah ada dirumah sakit, dan aku dilarang kesana karena aku masih harus menjaga yusuf dan memberitahumu saat kau datang”
Saat kami tiba di rumah sakit, Nampak suasana mengharu-biru menyelimuti ruangan kakak iparku. Semua orang menunduk, beberapa kaum wanita menangis. Kecupan terakhir didaratkan kakakku pada kening kakak iparku mas Khalid dengan iringan air mata yang tak kunjung reda. Innalillahi wainnailaihi rajiun, akhirnya kakak iparku telah mendapat panggilan kerinduan dari Allah swt dan tinggal menunggu giliranku yang entah kapan akupun tidak pernah tahu.
“ayah…..mana nyam-nyam ucup yang ayah janjikan sebelum ayah berangkat kerja? Kenapa ayah malah bobooo? Ucup pengin di suapin nyam-nyam sama ayah” celoteh yusuf sambil terus mencari tangan ayahnya. Yang ia sangat ingat adalah ayahnya selalu meletakkan tangannya di belakang punggung ketika akan memberi sesuatu padanya, tubuhnya kini ada dalam pelukan kakakku, kemilau kristal hitamnya terus mengerjap-ngerjap mendapati sekelilingnya yang terasa aneh, hampir semua orang menangis dan hanya dirinyalah yang tidak menitikkan air mata sama sekali, karena ya memang tidak tahu apa-apa.
Waktu seakan berjalan sangat lambat, dan tak perlu menunggu sang waktu yang terus menorehkan luka, ibuku lantas bercerita
“nduk sekitar jam 12.00 tadi mba likha tetangga sebelah rumah kita mengabarkan kalau suamimu mengalami kecelakaan saat motornya akan membelok ke halaman masjid untuk sholat jumat. Sebuah truk di belakangnya tidak sabar untuk menunggu motor suamimu benar-benar memasuki halaman masjid karena memang saat itu benar-benar sangat ramai para karyawan yang berbondong-bondong memasuki pelataran masjid. Dengan sengaja atau tidak, pergerakan truk yang mengarah kedepan itu menyerempet motor mas Khalid sehingga iapun jatuh tertindih. Saat suamimu akan beranjak, pergerakannya terhambat oleh kain sarung yang dikenakannya, kepalanya berdarah dan sekotak bungkusan jatuh dan menutupi wajahnya sehingga pernapasannya terganggu” cerita ibu sambil mengelus-elus kepala kakakku yang terbalut jilbab.
Ibu melanjutkan ceritanya “Nduk suamimu itu orang yang sangat baik, dia selalu mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Waktu itupun ia mendahulukan karyawan-karyawan lain yang berjalan kaki untuk memasuki halaman masjid lebih dulu hingga iapun menjadi yang terakhir disana. Namun, tidak selamanya kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas itu langsung dibalas dengan kebaikan lagi oleh Alllah swt. Terkadang bahkan rasanya tidak adil jika sebuah kebaikan dengan jaminan keikhlasan penuh malah dibalas dengan kejahatan dan keegoisan seperti kata peribahasa air susu dibalas dengan air tubah seperti itulah yang terjadi dengan suamimu nduk, seolah Allah tidak bijak dalam memberi ganjaran setiap perbuatan yang dilakukan hambanya. Tetapi percayalah kalau Allah itu sangat menyayangi suamimu dan tidak ingin melihat hambaNya yang senantiasa berbuat kebajikan itu harus teraniaya terus-menerus sehingga Ia harus berkehendak lain. Sopir truk itu tidak mengerti niat tulus suamimu, atau mungkin hatinya terlalu egois dan tidak mau tahu sehingga dia hanya meminta maaf dan langsung pergi. Dia tidak menyadari kalau perbuatannya itu telah melayangkan nyawa seseorang. Siang itu para jamaah sholat jumat telah khusyu menndengarkan khotbah dan suamimu tak kuasa merintih apalagi berteriak. Namun, atas kuasaNya akhirnya mba likha tetangga sebelah kita melihat dan menolongnya. Saat itu suasana sangat hening dan sepi, hanya ada lantunan ayat-ayat terakhir surat al fajr yaa ayyatuhannafsul muthmainnah, irji’iy ilaa rabbiki raadhiyatam mardhiyyah, fadhkhuly fiyy ibabdyy wadhkhuly jannaty yang dibacakan merdu oleh sang khathib. Dengan transportasi seadanya serta bantuan warga sekitar, suamimu langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Namun, sepertinya Allah sudah sangat merindukan suamimu hingga Ia berkehendak mengambilnya darimu. Menangislah nduk jika itu membuatmu tenang, menangislah seperti rasulullah menangisi anaknya Qasim dan Abdullah, menangislah karena tangisan itu tanda kasih sayang.” Ibuku mengakhiri cerita.
Selama mendengarkan cerita ibu, air mata kakakku tak kunjung berhenti. Namun, kini wajahnya mengulaskan senyum tipis. Ada secercah sinar keikhlasan dan kebanggaan di matanya.
“Pergilah dengan tenang mas, aku sudah ikhlas, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk merawat yusuf menjadi anak yang kau banggakan, aku ikhlas kau tinggal mas, sampaikan salamku pada malaikat yang memberimu nikmat kubur, sampaikan salamku pada kedua orangtuamu, dan sampaikan salamku pada semua muslim-muslimah yang mendahuluimu. Terima kasih untuk sisa umurmu menjadi imamku, terima kasih atas segala perhatian dan kasih sayangmu. Semoga kita dipersatukan kembali dalam naungan ridhoNya kelak, aku mencintaimu karena Allah mas” tangis kakakku kembali pecah, tetapi kali ini adalah tangisan bahagia.

♥ ♥ ♥
Kawan, sudah tujuh tahun selang waktu yang kakaku jalani dengan sepi. Kakaku dengan tubuhnya yang semakin kurus, pipinya tak sechuby dulu walaupun wajahnya tak sebanding dengan usianya sekarang, ia masih tetap terlihat seperti ABG tujuhbelas tahunan dan tidak terlihat memikul beban perasaan yang berat. Masa remajanya yang sangat minim dengan kata bahagia. Namun, dia adalah ibu yang hebat. Yusuf keponakanku menjadi anak yang brilian secerah wajahnya ketika berusia tiga tahun . bola mata kristal hitamnya menjadi sinar yang fokus akan sesuatu. Tubuh mininya dulu kini menjulang tinggi dengan perawakan tegap dan tatapan yang tegas namun teduh, sama persis dengan yang dimiliki ayahnya dulu.
Embun-embun di pucuk dedaunan masih menetes saat ini. Pelangi dengan bangga memamerkan warna-warnanya yang indah. Hujan sepagi tadi membuat anak-anak kecil betah bermain dengannya, sedangkan para orangtua sibuk dengan perasaan khawatir akan anaknya yang memaksakan diri bermain . Saat paling menyenangkan adalah ketika kita melihat pemandangan hujan dibalik jendela dengan sweater tebal dan secangkir coklat panas yang masih mengepul. Hmmm….!!! Sungguh nikmat, apalagi jika kita bisa menikmatinya bersama orang-orang yang kita cintai. Kala itu ingatanku melayang, masih jelas terlihat disana ketika kemarin saat perpisahan dengan keponakanku.
“terimakasih ya bunda, tunggu ucup limabelas tahun lagi, ucup akan jadi anak yang ayah dan bunda banggakan. Ucup akan jadi orang yang berguna bagi agama Allah dan negeri ini” ucapnya dengan nada mantap. Hatiku jadi terenyuh ikut mengamini kesungguhan cita-citanya.
Jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 16.00, matahari bersiap-siap untuk pamitan kepada penghuni bumi bagian kota itu, wajah langit bersemu jingga yang indah seolah tersenyum dan berkata” semoga harimu menyenangkan!! sampai jumpa besok!”. Walau hujan telah mereda, tetapi ia masih menyisakan rasa dingin yang menjalari tubuhku. Ketika aku memutuskan untuk kembali ke kamar tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan kamar kakakku. Rupanya wajah lelah itu tertidur lelap, rasa dingin tak memberinya kesempatan untuk banyak bergerak. Dengan tangan masih memeluk kotak biru, separuh tubuhnya terbungkus selimut, ya selimut yang kehilangan separuh pemakainya. Kini ia setia menjadi selimut sepi kakak.
♫ ♫ ♫